KEBUDAYAAN SEBAGAI SEMIOTIK “SEMIOTIKA TRADISI RUWAHAN MASYARAKAT JAWA”

A. PENDAHULUAN

Secara etimologis istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris, adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: kode, bahasa, kata, sinyal, gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera,dan sebagainya. Semiotika (semiotics) adalah ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat (Piliang, 2003: 21).

Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistic, dalam bukunya Course in General Linguistics mendefinisikan semiotika, dalam bahasanya dikenal dengan istilah semiologi, sebagai ilmu yang memepelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Dalam teorinya itu, Saussure menyebutkan bahwa tanda tersebut mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified) (Saussure, dalam Piliang, 2003: 47).

Berbeda dengan Saussure, Charles Sanders Peirce (1839-1914) mengemukakan bahwa tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.

Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotik, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.

Dari kesembilan macam semiotik, kita akan memfokuskan pembahasan pada semiotik cultural dan semiotik sosial dalam tradisi ruwahan masyarakat jawa menjelang datangnya bulan ramadhan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semoga dari apa yang akan kita bahas ini dapat memberikan pemehaman serta menambah wawasan kita tentang tradisi ruwahan dilihat dari cabang ilmu semiotik.

B. SEMIOTIKA RUWAHAN DALAM TRADISI JAWA

1. Kebudayaan sebagai Sistem Tanda

Kebudayaan adalah sistem yang berupa gagasan, kelakuan, dan hasil kelakuan. Dalam kata lain, dapat dinyatakan bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Budaya adalah seuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan yang mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep dari sitem pengetahuannya, juga tidak dapat terpisahkan dari sistem sosial, organisasi kemasyarakatan, dan seluruh perilaku sosial.

Kebudayaan adalah sebuah sistem tanda, di mana kebudayaan mempunyai eberapa peranandi antaranya cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan. Objek keudayaan adalah segala yang ada dan dihasilkan dalam masyarakat beserta unsur-unsur pembentuk kebudayaan. Maka kebudayaan dapat berperan sebagai, pertama, mencoba menerjemahkan apa yang ada dalam masyarakat melalui unsur-unsur kebudayaan yang ada sesuai dengan kemampuan masyarakat pemilik kebudayaan. Kedua, kebudayaan dapat menjadi sarana untuk menyampaikan pikiran/ide/gagasan masyarakat atau manusia dalam masyarakat. Ketiga, kebudayaan dapat berupa penciptaan kembali budaya atau penciptaan perilaku baru masyarakat.

2. Tradisi Ruwahan Masyarakat Jawa

Ruwahan berasal dari kata “Ruwah” merupakan bulan urutan ke tujuh, dan berbarengan dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyyah. Kata “ruwahruwah” sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur dan nenek moyang. Konon dari arti kata arwah inilah bulan dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur.

Ruwahan dilakukan sepuluh hari sebelum bulan puasa (Ramadhan). Pada tradisi ini sejumlah ritus digelar menurut tradisi dan adat di tiap masing-masing daerah atau pedukuhan. Acara dimulai dari acara nisfu syaban, besrik (bersih desa termasuk pemakaman) yang diiringi slametan kecil lalu kenduren di malam hari. Keesokan paginya dilakukan nyadran, hingga berakhir pada acara padusan tepat di penghujung hari menjelang puasa. Tradisi ini pada intinya melambangkan kesucian dan rasa sukacita memasuki ibadah puasa yang merupakan bentuk iman kesalehan individual dan kolektif.

Nisfu sya’ban ini biasanya dilakukan pada malam ke-15 pada bulan sya’ban. Rangkaian acaranya berupa sholat sunah berjamaah di masjid kemudian dilanjutkan membaca doa nisfu sya’ban bersama-sama dan diakhiri dengan makan bersama (ambengan). Ritus ini ditujukan untuk rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus salah satu bentuk penyucian diri sebelum masuk ke bulan suci Ramadhan.

Adapun acara ritus bersih kampong, slametan, hingga kenduri serta megenga (kirim-kirim hantaran makanan) adalah manifestasi dari paktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa. Tradisi Biasanya isi hantaran tradisi megengan di Jawa tidak meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah: ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.  Tak heran dahulu tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan. Sementara itu, pasar-pasar kagetan di bulan Ruwah ini biasanya hanya berselang satu minggu, pada mulanya pasar kagetan ini utamanya diperuntukkan untuk orang agar dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan. Hal pertama yang dilakukan oleh Rosul adalah membangun masjid, ini dimaknai dan dipraktikkan oleh orang Jawa dengan mudik untuk nyadran atau nyekar biasanya setelah shalat dhuhur dan slametan bersama di langgar atau masjid dan atau melaksanakan kenduren setelah shalat maghrib di msajid setempat. Dengan demikian ritus ruwahan adalah memakmurkan masjid, meningkatkan kualitas sujud syukurnya pada Allah. Yang kedua ritual slametan, kenduren dan megengan di bulan Ruwah ini juga telah membangun pasar perekonomian setempat, ritus ini mendistribusikan rizki dari perkotaan ke kota-kota bahkan kampung-kampung di Jawa. Yang terakhir ritus-ritus ruwahan itu sendiri telah memperat rasa persaudaraan antara kaum mereka yang di kampung (Anshar) dan mereka yang mudik (Muhajirin). Sebuah ritus yang akan diulang kembali oleh orang-orang Islam Jawa saat menutup ritual puasa Ramadhan di Bulan Syawal nanti.

Nyadran adalah ziarah kubur untuk mengingatkan manusia kepada asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) yaitu para leluhur. Nyadran di awali dengan membersihkah makam dan sekitarnya  dari rerumputan liar dan sampah lalu membacakan tahlil dan yasin berdoa pada Tuhan agar mereka yang telah tiada senantiasa mendapat rahmat dari Gusti Allah SWT. Nyadran sendiri berasal dari kata “sradha”, yang merupakan tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ketiga Majapahit. Pada jaman itu Kanjeng Ratu ingin melakukan doa kepada sang ibunda Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang telah diperabukan di Candi Jabo. Untuk keperluan itu dipersiapkanlah aneka rupa sajian untuk didermakan kepada para dewa. Sepeninggal Ratu Tribuana Tunggadewi, tradisi ini dilanjutkan juga oleh Prabu Hayam Wuruk.

Di masa penyebaran agama islam oleh Wali Songo, tradisi tersebut kemudian diadopsi menjadi upacara nyadran karena bertujuan untuk mendoakan orang tua di alam baka. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadist, bahwasanya ketika seseorang telah meninggal dunia dan berada di alam barzah, maka semua amal kebaikan di dunia menjadi terputus kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholeh. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban anak dan cucu untuk senantiasa mendoakan arwah leluhurnya yang telah meninggal. Hanya saja sajian yang dibuat tidak lagi diperuntukkan bagi para dewa, tetapi sebagai sarana sedekah kepada kaum miskin. Pada acara nyadran, berbagai macam bunga ditaburkan di atas makam orang-orang yang mereka kita cintai, oleh karena itu nyadran juga disebut nyekar ( sekar = bunga). Keindahan dan keharuman bunga menjadi simbol untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari  mereka yang telah mendahului. Dengan demikian, ritus itu memberikan semangat bagi yang masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabaqul khoirat). Tradisi ritus ruwahan ini ditutup dengan acara padusan biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir batin memasuki bulan Ramadhan.

3. Analisis Semiotik dalam Tradisi Ruwahan

Tanda-tanda yang ada pada tradisi ruwahan ini antara lain:

a.  Arti kata ruwah yang bermakna urutan bulan ketujuh dari penanggalan jawa dan berbarengan dengan bulan sya’ban ada penanggalan Hijriyah dan bisa juga diambil dari kata ruwahruwah yang bermakna arwah merupakan tanda agar kita selalu ingat dengan saudara dan leluhur yang telah mendahului meninggal. Kata arwah di sini juga bisa diartikan sebagai ruh yang berarti pembersihan ruh sebelum masuk ke bulan suci ramadhan yang merupakan bulan untuk penyucian diri dan nantinya masuk ke bulan syawal yang berarti peningkatan.

b.  Hantaran tradisi megengan berisi tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem yang ketiganya mempunyai makna masing-masing:

  • ketan, makanan ini merupakan simbol eratnya tali silaturahmi, karena sifat dan bentuk ketan yang lengket.
  • kolak, makanan yang diolah dengan menggunakan santan yang manis, melambangkan hubungan kekeluargaan yang selalu harmonis dan  bahagia, serta mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan.
  • apem, makanan yang mempunyai arti kesediaan untuk saling memaafkan. Kata apem berasal dari bahasa arab “afwan” yang bermakna maaf.

c.  Doa dan makan bersama (kenduri) dalam ritus nisfu sya’ban atau pada setiap malam hari selama seminggu sebelum ramadhan, merupakan bentuk dari pengejawantahan dari kebersamaan, sikap kekeluargaan, dan cara untuk memakmurkan masjid, serta meningkatkan kualitas sujud syukurnya pada Allah.

d. Tabur bunga dalam situs nyadran merupakan bentuk dari  cara masyarakat untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari  mereka yang telah mendahului. Selain itu ada kepercayaan masyarakat bahwa dengan adanya bunga di atas makam turut membantu araoma wangi pada arwah di alam kubur dan malaikat tidak sungkan mendekat. Bunga yang sering digunakan untuk nyekar adalah bunga kanthildan telasih. Bunga kanthil bermakna mengikat rasa selalu terhubung dengan para leluhur. Diharapkan dapat mencontoh perilaku baik para leluhur semasa hidupnya. Bunga kanthil berarti tansah kumanthil. Yang kumanthil adalah hatinya. Sukur-sukur berkahnya (safa’atnya) dapat “kanthil” (mengikuti) sumrambah mengalir ke dalam jiwa raga si peziarah. Bunga Telasih bermakna welas asih, dengan harapan dapat kawelasan atau belas kasih dari Gusti Hyang Manon. Belas kasih pula dari para leluhur yang akan njangkung dan njampangi setiap langkah kita agar tidak salah langkah menjalani proses kehidupan yang sangat pelik ini.

e.  Ziarah ke makam pada ritus nyadran merupakan bentuk interpretasi dari praktik hadis yang menyatakan baha salah satu amal yang masih diterima dari orang yang sudahmeninggal adalah anak sholeh dan sholehah yang selalu mendoakan. Selain itu, ziarah juga memberikan tanda bahwakitaharus tetap mengingat leluhur kita dan saudara-saudara kita serta mengingatkan kita akan adanya kematian. Sehingga kita terangsang untuk berbuat baik (fastabaqul khoirat).

  1. Tradisi bersih kampong/desa memberikan gambaran tentang kebersamaan dan kegotong-royongan.mengingatkan kita untuk selalu saling tolong-menolong antarsesama. Selain itu bersih desa juga mengisyaratkan kepada kita tentang pentingnya lingkungan tempat di mana kita tinggal, sehingga membangun jiwa kita untuk melestarikannya.

g.  Pembacaan tahlil dan yasin merupakan tanda yang menunjukkan ciri agama islam, sedangkan bentuk slametan merupakan adaptasi dari adapt istiadat sekitar yang sudah ada sebelum agama islam masuk. Slametan sendiri merupakan bentuk adaptasi dari sesaji yang dilakukan oleh para wali untuk menyebarkan agama islam di tanah jawa agar mudah diterima oleh masyarakat yang pada saa titu masih beragama Hindu dan Budha bahkan kepercayaan Animisme-Dinamisme.

h.  Tanda berikutnya adalah mengenai orang yang mudik untuk merayakan ruwahan. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa orang mudik adalah sebuah simbol dari hijrah Rosulullah SAW dan para sahabat ke Madinah.

C. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa tradisi ruwahan pada masyarakat Jawa memiliki tanda-tanda yang menunjukkan tentang hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Semiotik cultural dan semiotic social yangterdapat dalam tradisi ini aatlah memberi isyarat kepada kita untuk selalu melakukan tiga prinsip dasar sebagai khalifah di bumi.

Analisa mengenai semiotika tradisi ruwahan masyarakat jawa ini juga memberikan jawaban pasti bahwa kebudayaan sebagai semiotik (culture as semiotics). Bagaimana kebudayaan itu berperan sebagai penerjemah, sebagai sarana penyampai ide/gagasan/pikiran, dan sebagai penciptaan kembali budaya atau adat istiadat baru dalam masyarakat.

Demikian tulisan ini selesai disusun. Semoga apa yang kita harapkan mengenai pemahaman tentang tradisi ruwahan masyarakat jawa terjawab, meskipun masih banyak lubang yang harus dibenahi dalan tulisan ini.untuk itu kritik dan saran sangat kami perlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika (Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna). Bandung: Jalasutra.

Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKIS.

http://wonojoyo.com/tradisi-ruwahan-jawa/

http://www.nu.or.id/page.php


Tinggalkan Komentar